Subscribe:
- Chelsea FC

Labels

Senin, 12 Maret 2012

Sejarah Indonesia


Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah oleh “Manusia Jawa” pada masa sekitar 500.000 tahun yang lalu. Periode dalam sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima era: era pra kolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; era kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20; era kemerdekaan, pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) sampai jatuhnya Soekarno (1966); era Orde Baru, 32 tahun masa pemerintahan Soeharto (1966–1998); serta era reformasi yang berlangsung sampai sekarang.
Prasejarah
Secara geologi, wilayah Indonesia modern muncul kira-kira sekitar masa Pleistocene ketika masih terhubung dengan Asia Daratan. Pemukim pertama wilayah tersebut yang diketahui adalah manusia Jawa pada masa sekitar 500.000 tahun lalu. Kepulauan Indonesia seperti yang ada saat ini terbentuk pada saat melelehnya es setelah berakhirnya Zaman Es.

Era pra kolonial
Para cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan Sumatra sekitar 200 SM. Kerajaan Tarumanagara menguasai Jawa Barat sekitar tahun 400. Pada tahun 425 agama Buddha telah mencapai wilayah tersebut. Pada masa Renaisans Eropa, Jawa dan Sumatra telah mempunyai warisan peradaban berusia ribuan tahun dan sepanjang dua kerajaan besar yaitu Majapahit di Jawa dan Sriwijaya di Sumatra sedangkan pulau Jawa bagian barat mewarisi peradaban dari kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda.
Kerajaan Hindu-Buddha
Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I Ching mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.
Kerajaan Islam
Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 Masehi. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani umayyah di Asia Barat sejak abad 7. Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dari Khilafah Bani Umayah meminta dikirimkan da`i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan.
Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.
Islam terus mengokoh menjadi institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayang Ullah.
Kesultanan Islam kemudian semikin menyebarkan ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir abad ke-16 di Jawa dan Sumatra. Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu. Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17, dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut.
Penyebaran Islam dilakukan/didorong melalui hubungan perdagangan di luar Nusantara; hal ini, karena para penyebar dakwah atau mubaligh merupakan utusan dari pemerintahan islam yg datang dari luar Indonesia, maka untuk menghidupi diri dan keluarga mereka, para mubaligh ini bekerja melalui cara berdagang, para mubaligh inipun menyebarkan Islam kepada para pedagang dari penduduk asli, hingga para pedagang ini memeluk Islam dan meyebarkan pula ke penduduk lainnya, karena umumnya pedagang dan ahli kerajaan/kesultanan lah yang pertama mengadopsi agama baru tersebut. Kesultanan/Kerajaan penting termasuk Samudra Pasai, Kesultanan Banten yang menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, Kerajaan Mataram di Yogja / Jawa Tengah, dan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku di timur.
Kolonisasi Belanda
Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya yang tidak terpengaruh adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika berintegrasi menjadi provinsi Indonesia bernama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun, kecuali untuk suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa Britania-Belanda dan masa penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia-Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 350 tahun penjajahan Belanda bagi sebagian orang adalah mitos belaka karena wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati kebangkrutannya.
VOC
Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala. VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.
Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya – baik yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870.
Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Kebijakan Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.
Gerakan nasionalisme
Pada 1905 gerakan nasionalis yang pertama, [Serikat Dagang Islam] dibentuk dan kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis berikutnya, [Budi Utomo]. Belanda merespon hal tersebut setelah Perang Dunia I dengan langkah-langkah penindasan. Para pemimpin nasionalis berasal dari kelompok kecil yang terdiri dari profesional muda dan pelajar, yang beberapa di antaranya telah dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjara karena kegiatan politis, termasuk Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno.
Perang Dunia II
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke AS dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.
Era Jepang
Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.
Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada pertemuan pertamanya di bulan Mei, Soepomo membicarakan integrasi nasional dan melawan individualisme perorangan; sementara itu Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga sekaligus mengklaim Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis Timur, dan seluruh wilayah Hindia-Belanda sebelum perang.
Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Widjodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.
Era kemerdekaan
Mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan seperti itu pada 16 Agustus, Soekarno membacakan “Proklamasi” pada hari berikutnya. Kabar mengenai proklamasi menyebar melalui radio dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya langsung berangkat mempertahankan kediaman Soekarno.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.
Perang kemerdekaan
Dari 1945 hingga 1949, persatuan kelautan Australia yang bersimpati dengan usaha kemerdekaan, melarang segala pelayaran Belanda sepanjang konflik ini agar Belanda tidak mempunyai dukungan logistik maupun suplai yang diperlukan untuk membentuk kembali kekuasaan kolonial.
Usaha Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang kuat. Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali ibukota kolonial Batavia, akibatnya para nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota mereka. Pada 27 Desember 1949 (lihat artikel tentang 27 Desember 1949), setelah 4 tahun peperangan dan negosiasi, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB.
Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin”. Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah “rencana neo-kolonial” untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetab Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).
Nasib Irian Barat Konflik Papua Barat
Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Irian), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.
Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadapa Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September / G30 S PKI
Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali.
Era Orde Baru
Setelah Soeharto menjadi Presiden, salah satu pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia “bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB”, dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an. Dia juga memperkaya dirinya, keluarganya, dan rekan-rekat dekat melalui korupsi yang merajalela.
Irian Jaya
Setelah menolak supervisi dari PBB, pemerintah Indonesia melaksanakan “Act of Free Choice” (Aksi Pilihan Bebas) di Irian Jaya pada 1969 di mana 1.025 wakil kepala-kepala daerah Irian dipilih dan kemudian diberikan latihan dalam bahasa Indonesia. Mereka secara konsensus akhirnya memilih bergabung dengan Indonesia. Sebuah resolusi Sidang Umum PBB kemudian memastikan perpindahan kekuasaan kepada Indonesia. Penolakan terhadap pemerintahan Indonesia menimbulkan aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil pada tahun-tahun berikutnya setelah perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam atmosfer yang lebih terbuka setelah 1998, pernyataan-pernyataan yang lebih eksplisit yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia telah muncul.
Timor Timur
Dari 1596 hingga 1975, Timor Timur adalah sebuah jajahan Portugis di pulau Timor yang dikenal sebagai Timor Portugis dan dipisahkan dari pesisir utara Australia oleh Laut Timor. Akibat kejadian politis di Portugal, pejabat Portugal secara mendadak mundur dari Timor Timur pada 1975. Dalam pemilu lokal pada tahun 1975, Fretilin, sebuah partai yang dipimpin sebagian oleh orang-orang yang membawa paham Marxisme, dan UDT, menjadi partai-partai terbesar, setelah sebelumnya membentuk aliansi untuk mengkampanyekan kemerdekaan dari Portugal.
Pada 7 Desember 1975, pasukan Indonesia masuk ke Timor Timur. Indonesia, yang mempunyai dukungan material dan diplomatik, dibantu peralatan persenjataan yang disediakan Amerika Serikat dan Australia, berharap dengan memiliki Timor Timur mereka akan memperoleh tambahan cadangan minyak dan gas alam, serta lokasi yang strategis.
Pada masa-masa awal, pihak militer Indonesia (ABRI) membunuh hampir 200.000 warga Timor Timur — melalui pembunuhan, pemaksaan kelaparan dan lain-lain. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi saat Timor Timur berada dalam wilayah Indonesia.
Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia dalam sebuah pemungutan suara yang diadakan PBB. Sekitar 99% penduduk yang berhak memilih turut serta; 3/4-nya memilih untuk merdeka. Segera setelah hasilnya diumumkan, dikabarkan bahwa pihak militer Indonesia melanjutkan pengrusakan di Timor Timur, seperti merusak infrastruktur di daerah tersebut.
Pada Oktober 1999, MPR membatalkan dekrit 1976 yang menintegrasikan Timor Timur ke wilayah Indonesia, dan Otorita Transisi PBB (UNTAET) mengambil alih tanggung jawab untuk memerintah Timor Timur sehingga kemerdekaan penuh dicapai pada Mei 2002.
Krisis ekonomi
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Era reformasi Pemerintahan Habibie
Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pemerintahan Wahid
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto – sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Pemerintahan Yudhoyono
Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.


Aceh, Soekarno, dan Megawati
”Khusus kepada saudara-saudaraku di Aceh, bersabarlah. Bila kelakCut Nya’ memimpin negeri ini, tak akan saya biarkan setetes pundarah rakyat menyentuh Tanah Rencong yang begitu besar jasanyadalam menjadikan Indonesia merdeka. Kepada kalian saya akanberikan cinta saya, saya akan berikan hasil Arun-mu, agar rakyatdapat menikmati betapa indahnya Serambi Makkah bila dibangundengan cinta dan tanggungjawab antarsesama warga bangsa, bangsaIndonesia!”
Pidato itu disampaikan Megawati Soekarnoputri –saat menjabat wakilpresiden– dengan menangis terisak-isak pada tanggal 29 Juli 1999,disaksikan jutaan rakyat Indonesia karena disiarkan langsung oleh televisi nasional. Bagi rakyatAceh, janji yang diucapkan oleh Megawati sambil menangis terisak- isak bukanlah Hal yang baru. Karena pada saat awal kemerdekaan, tepatnya 17 Juni1948, di Banda Aceh, ayah Megawati, Presiden Soekarno, juga menangis terisak-isak di depan Tgk Muhammad Daud Beureueh.
Disaksikan sejumlah tokoh dan pedagangAceh, Soekarno berkata kepada Daud Beureueh,”Kanda tidak percayapadaku? Buat apa aku menjadi Presiden kalau aku tidak dipercaya?”Saat itu, Daud Beureueh selaku Gubernur Militer Aceh, menyodorkankepada Soekarno konsep diberlakukannya syariat Islam di Aceh, jika kelak penjajah Belanda terusir dari bumi Indonesia.
Soekarno setuju, tetapi menolakmembubuhkan tandatangannya. Setelah beberapa kali didesak olehAbu Beureueh (sapaan Tgk Muh Daud Beureueh), akhirnya keluarlahtangisan yang terkenal itu dari Sang Presiden, sehingga Abu Beureuehtidak sampai hati untuk mendesak Soekarno membubuhkantandantangannya pada konsep yang telah disodorkan.
Tetapi, seperti tercatat dalam sejarah, setelah Belanda terusir,Soekarno bukan menepati janjinya untuk memberlakukan syariatIslam di Aceh. Malah, pada tahun 1950, melalui Perppu No 5/1950,Aceh dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tentumenyakitkan hati rakyat Aceh yang telah berjuang mempertahankankemerdekaan RI dengan derai air mata, darah, dan nyawa. Ibarat airsusu dibalas dengan air tuba!
Tidak perlu heran jika akhirnya rakyat Aceh melawan PemerintahanSoekarno dengan bergabung dalam gerakan DI/TII. Dan sejarahkembali membuktikan, perlawanan DI/TII di Aceh tidak dapatditaklukkan dengan senjata. Padahal DI/TII di Jawa Barat danSulawesi Selatan telah dapat dikalahkan. Akhirnya, melalui Misi Hardi(Mr Hardi, Wakil Perdana Menteri I) pada 25 Mei 1959, dilakukan perundingan. Hasilnya, Aceh kembali menjadi provinsi tersendiri dandiberikan keistimewaan sehingga disebut Daerah Istimewa Aceh.Namun dalam praktiknya, keistimewaan itu sama sekali tidak. Kembalihati rakyat Aceh dilukai.
Apalagi, sejak ditemukannya ladang gas Arun pada tahun 1974, samasekali rakyat Aceh tidak merasakan manfaatnya. Megawati, dalampidatonya tadi, berjanji akan mengembalikan hasil gas Arun kepadarakyat Aceh. Kenyataannya? Jauh panggang dari api. Setelah Megawatimenjadi Presiden RI, jangankan dikembalikan hasilnya, malah gasArun seluruhnya diekspor keluar negeri demi mendatangkan devisanegara. Akibatnya, pabrik pupuk yang ada di Aceh yakni ASEAN AcehFertilizer (AAF) dan Pupuk Iskandar Muda (PIM) terpaksa berhentiberoperasi. Jika akhirnya gas Arun seluruhnya dialokasikan keluarnegeri, untuk apa pemerintah membangun pabrik pupuk baru di Acehyang bernama PIM 2?
Bukankah PIM 2 menjadi proyek mubazir yang akhirnya memberatkankeuangan negara karena pabrik dibangun dengan pinjaman luarnegeri? Masalah gas Arun belum seberapa. Yang lebih menyakitkanlagi, janji yang diucapkan Megawati sebelum dirinya menjadi PresidenRI. Janji ”_bila kelak Cut Nya’ memimpin negeri ini, tak akan mengalirsetetes pun darah rakyat Aceh” embali dilanggarnya sendiri denganmenggelar operasi militer untuk menggantikan Daerah Operasi Militer(DOM). Di masa darurat militer dan darurat sipil itu, tidak diketahuidengan pasti berapa banyak darah rakyat sipil Aceh tidak berdosayang tumpah di bumi Serambi Makkah; berapa nyawa yang hilangpercuma; dan berapa banyak harta benda yang terkuras akibat konfliksenjata yang berkepanjangan antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka(GAM).
Pemerintahan Megawati dapat mengatakan ini adalah ekses atau risikodari darurat militer dan darurat sipil. Tapi dia lupa dengan janjinyasendiri, apalagi dia menyebut dirinya Cut Nya’ ketika mengucapkanjanji itu. Seolah menggambarkan dia seperti pahlawan yang sangatdihormati oleh rakyat Aceh, Cut Nya’ Dhien. Ternyata sejarah berbicaralain. Tidak mengherankan suara PDIP pada Pemilu 2004 lalu di Acehmenurun drastis. Rakyat Aceh juga lebih memilih Amien Rais danSusilo Bambang Yudhoyono dibandingkan Megawati pada pemilupresiden (pilpres) lalu.
Kerancuan logika PDIP Kini, setelah Susilo Bambang Yudhoyono-JusufKalla memerintah dan memutuskan membuka kembali perundingandengan GAM di Helsinki –agar konflik bersenjata yang sudah hampirberusia 30 tahun bisa dihentikan – muncul reaksi penolakan dari PDIPlewat berbagai pernyataan di media massa, baik resmi maupun tidakresmi.
Berbagai argumen dikemukakan, di antaranya, mengapa perundingandilakukan di luar negeri sehingga terjadi internasionalisasi masalahAceh, padahal persoalan Aceh adalah urusan dalam negeri; GAMadalah pemberontak kenapa tidak ditumpas habis saja; MoU diHelsinki adalah perjanjian kesepakatan antara pemerintah RI denganpetinggi GAM yang berkewarganegaraan asing dan dilakukan di luarnegeri, sehingga merupakan perjanjian internasional yang butuhpersetujuan DPR; Isi MOU di Helsinki yang mengakomodir keinginanGAM untuk membentuk parpol lokal di Aceh akan memicu daerah lainmenuntut hal yang sama dan akan menimbulkan gerakan separatisyang berujung disintegrasi Indonesia.
Dari argumen di atas, terlihat ketidakkosistenan dan kerancuan logikayang dikembangkan PDIP dalam melihat perundingan Helsinki.Dikatakan perlu persetujuan lembaga DPR karena MoU dengan GAMadalah perjanjian internasional, padahal sejak awal PDIP menolakinternasionalisasi masalah Aceh. Bukankah dengan demikian yangmenginternasionalisasi Aceh adalah PDIP sendiri? Di mana pun didunia ini, setiap perundingan selalu di luar negeri. Karena yangberunding adalah pemberontak dan pemerintahan yang sah. Bisa kitalihat kasus Moro di Filipina yang berunding di negara lain dan selaluada mediator. Bahkan Indonesia pernah menjadi mediator perundingantersebut.
Dengan kenyataan lima juru runding GAM yang berada di Acehditangkap aparat sewaktu kesepakatan CoHA dulu gagal, tentupetinggi GAM akan berpikir seribu kali bila perundingan dilakukan diIndonesia, apalagi tanpa mediator yang netral. Sejak GAMdiproklamirkan pada tahun 1976, Pemerintah RI selalu berusahamenumpas habis gerakan tersebut lewat berbagai operasi militer.Kenyataannya, setelah hampir 30 tahun GAM masih eksis, bahkanmakin solid.
Panglima perang GAM boleh terbunuh tetapi dengan segera timbulpenggantinya. Contohnya Panglima GAM, Tgk Abdullah Syafii,digantikan oleh Muzakir Manaf. Upaya pemerintah untuk menyeretHasan Tiro dan kawan-kawan sebagai petinggi GAM di Swedia ke mejahijau, sampai saat ini tak membuahkan hasil. Memang, pilihanberunding dengan GAM harus diambil oleh Pemerintah RI untukmenyelesaikan masalah Aceh secara permanen. Apalagi musibahtsunami yang merenggut ratusan ribu jiwa rakyat Aceh belum hilangdari ingatan kita. Itu menjadi hikmah bersama bahwa kekuasaanmanusia tidak berarti apa-apa dibandingkan kekuasaan Allah SWT.
Soekarno melakukan hal sama Soekarno pun, karena tidak berhasilmemadamkan gerakan DI/TII di Aceh, mengutus Mr Hardi untukberunding, dan akhirnya menerima sebagian tuntutan Abu Beureuehwaktu itu. Ini juga menjawab pertanyaan petinggi PDIP mengapa yang
diutus ke Helsinki pejabat setingkat menteri, toh dulu pun Soekarnomelakukan hal yang sama. Menyangkut parpol Lokal, inipun bukan halyang aneh. Mengingat saat Soekarno berkuasa, banyak parpol lokalyang mengikuti Pemilu 1955. Parpol lokal tersebut tidak ada yangmenyebabkan timbulnya gerakan separatis.
Sejarah memperlihatkan munculnya gerakan separatis di Indonesiabukan disebabkan oleh parpol lokal, melainkan karena ketidakadilanantara pusat dan daerah. Bahkan, melihat ketidakpekaan anggota DPRsaat ini –yang menuntut kenaikan gaji dan melancong ke luar negerisaat rakyat menderita– bukan tidak mungkin akan membuat rakyatmuak pada partai yang ada. Sehingga mereka akan menuntutdiperkenankannya partai lokal yang mewakili aspirasi rakyat di daerahuntuk mengikuti pemilu. Penolakan parpol nasional mengakomodirparpol lokal, sebenarnya bukan terletak ada masalah disintegrasi. Tapilebih dikarenakan parpol nasional seperti PDIP takut kehilanganpopularitasnya di mata rakyat.
Pascaperundingan
Senin, 15 Agustus 2005, adalah hari yang sangat bersejarah bagibangsa Indonesia, khususnya rakyat Aceh, yang telah lamamendambakan kedamaian di Serambi Makkah, Karena MoU AcehDamai akhirnya ditandatangani oleh Pemerintah RI dengan GAM diHelsinki, Finlandia. Insya Allah, dengan adanya MoU Aceh Damai, usaisudah konflik bersenjata di Aceh yang telah berusia lebih seperempatabad. Kemudian, segala aspirasi rakyat Aceh dapat disampaikan dalamsuasana terbuka, demokratis, dan damai.
Meskipun demikian, kita tidak boleh terlalu optimistis. Karena jalanpanjang nan terjal telah menghadang di depan mata. PelaksanaanMoU Aceh Damai di lapangan, adalah titik krusial yang harus menjadiperhatian serius kedua belah pihak, baik GAM maupun pemerintah.Walau pun minoritas, GAM masih mempunyai faksi garis keras yangmenentang MoU tersebut. Termasuk dalam kelompok ini kaum ultranasionalis, pedagang senjata yang oportunistik, maupun para kriminalyang selama ini mengambil kesempatan dengan mengatasnamakantentara GAM atau TNI.
Mengandalkan Aceh Monitoring Mission (AMM) sebagai pihakpemantau pelaksanaan kesepakatan damai saja tidak lah cukup.Karena area konflik di Aceh yang cukup luas dan setiap saatmemungkinkan
setiap
orang
ataupun
kelompok
mengambilkesempatan untuk kepentingan kelompoknya. Apalagi anggota AMMwalaupun netral karena berasal dari negara asing, tidak menguasaimedan konflik yang sesungguhnya. Karena itu, butuh dukungansepenuh hati dari kedua belah pihak yang bertikai selama ini untukturut membantu tugas AMM dan kerelaan hati untuk menerima
hukuman, apabila ada anggota ataupun oknum GAM maupun TNI yang
melakukan kesalahan.
Memang agak sulit mengharapkan rasa saling percaya dapat tumbuhdalam sekejap, mengingat sebelumnya kedua belah pihak telahbertikai cukup lama. Tapi kalau diniatkan sungguh-sungguh, insyaAllah akan berhasil. Sebaliknya, bila pelaksanaan kesepakatan damaihanya setengah hati, bukan saja akan membuat kecewa rakyat Aceh,tetapi akan memunculkan ”GAM-GAM baru” yang lebih radikaldibanding sebelumnya. Untuk itu kita harus belajar dari sejarah. Apayang sudah kita janjikan harus kita tepati. Sebab MoU Aceh Damaiadalah kado Ulang Tahun RI ke-60 yang tidak ternilai harganya.
Reply
Zack Jubir Aceh says:
December 27, 2011 at 18:36
ULASAN PERCAKAPAN SOEKARNO DAN DAUD BEUREU’EH
“…Waallah Billah…, Atjeh nanti akan saya beri hak untuk menjusun rumah tangganja sendiri sesuai Syari’at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakjat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syari’at Islam. Apakah Kakak masih ragu…??”
Kata-kata… di atas diucapkan oleh Soekarno sambil terisak di bahu seseorang yang ia panggil Kakak. Sang kakak, tidak lain adalah Daud Beureueh. Akhirnya, berbekal iba dan isak tangis, Soekarno berhasil meluluhkan hati sang Abu Jihad, demikian panggilan Daud Beureueh.
Soekarno mengucapkan janjinya untuk meyakinkan Daud Beureueh, bahwa jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, Syari’at Islam akan diterapkan di tanah Rencong ini. Maka urung niat Daud Beureu’eh meminta perjanjian hitam di atas putih.
Namun ternyata janji tinggal janji, Belum kering bibir Soekarno berjanji, Ia menghianati janji yang di ucapkannya sendiri. Dan penerapan Syariat Islam di Aceh pun tinggal mimpi. Air mata yang diteteskan Soekarno ternyata hanya pelengkap sandiwara. Deraian Air Mata Bung Karno ternyata adalah titik awal mula penderitaan Rakyat Pemodal Kemerdekaan Bangsa ini.
Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakak” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah :
Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”
Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.”
Presiden Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”
Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada Rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”
Presiden Soekarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”
Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.”
Presiden Soekarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”
Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama Rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.”
Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan ;
Soekarno berkata, : “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.”
Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, : “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.”
Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno mengucap janji dan bersumpah;
Bung Karno bersumpah : “Waallah Billah (Demi Allah), kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Waallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”
Daud Beureueh menjawab : “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama Rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.”
****
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu.
Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.
Jelas, ini menimbulkan sakit hati Rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali bahkan dibiarkan terbengkalai.
Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telah menjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak pernah termaafkan.
Sumber : ATJEH CYBER WARRIOR – http://www.atjehcyber.tk
Diposkan oleh Komunitas Lada Sicupak
Reply
syarief hidayat says:
January 2, 2012 at 08:18
yah……bagus ceritanya ini.ceritanya enak teringat masa dulu.
Reply
lhia fitrianti says:
January 15, 2012 at 04:13
ceritanya luar biasa.. Membuka ingatan akan masa” doeloe..
Pkoknya keren:)
Reply
Indra Ganie says:
January 17, 2012 at 10:06
Indonesia Di antara Pertarungan Pengaruh Asing
Oleh : Indra Ganie
Sejak awal Masehi – atau mungkin lebih tua dari itu – wilayah yang kini disebut “NKRI” (Negara Kesatuan Republik Indonesia), bahkan Asia Tenggara telah menjadi wilayah saling silang dan saling padu pengaruh asing semisal Cina, India, Arab, Persia dan Eropa. Hingga abad-16 hal tersebut berlangsung relatif damai, semua untung. Boleh dibilang tidak ada apa yang disebut dengan “penjajahan”.
Suasana damai tersebut berubah pada abad-16, ketika sejumlah bangsa-bangsa Eropa/Barat hadir ke Asia Tenggara – termasuk ke Kepulauan Indonesia. Mereka hadir dengan perilaku yang berbeda dengan bangsa-bangsa sebelumnya, yaitu memaksakan kehendaknya kepada fihak lain sehingga berkobar konflik yang berdarah-darah. Selain bersaing dengan bangsa Asia, mereka juga bersaing sengit dengan sesamanya – juga hingga berdarah-darah. Khusus di Indonesia – waktu itu dikenal dengan “Nederlandsch Indiche”, masuk abad-20 bangsa Eropa yaitu Belanda memastikan diri sebagai pemenang persaingan dan menjadi penguasa/penjajah. Dengan pengecualian di Kalimantan harus berbagi dengan Inggris, di Timor harus berbagi dengan Portugis dan di Papua harus berbagi dengan Jerman dan Australia.
Perang Dunia-2 (1939-45) berakibat sejumlah bangsa-bangsa di Asia Tenggara meraih kemerdekaan, ada yang melalui transisi namun ada yang melalui revolusi semisal Indonesia.
Kemerdekaan yang diraih tersebut ternyata tidak dapat mengembalikan suasana saling silang dan saling padu pengaruh asing untuk berlangsung dengan damai. Sejumlah negara-negara di Asia Tenggara sempat terlibat konflik – yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar wilayah tersebut., mengingat wilayah tersebut bernilai sangat strategis sejak lama. Selat Malaka misalnya, sejak awal Masehi telah menjadi jalur laut penting dan masih demikian walaupun sudah ada pesawat terbang/perhubungan udara. Dengan demikian Asia Tenggara – khususnya Indonesia – masih merupakan wilayah menggiurkan : wilayah luas, letak strategis, alam kaya dan penduduk (umumnya) masih terbelakang. Terlalu berharga diabaikan begitu saja. Akibatnya, kemerdekaan yang diraih ternyata tidak membuat fihak asing berhenti mencari peluang menanamkan pengaruhnya. Supaya negara/bangsa di wilayah Asia Tenggara tetap merasa dekat – kalau perlu terikat/tergantung. Dengan kata lain, penjajahan pada hakikatnya belum mati, ia hanya berganti yaitu cara dan rupa. Penjajahan bukanlah suatu barang antik yang layak masuk museum, ia sukses menembus ruang dan waktu selama dunia masih ada. Bahkan pada zaman kita ini pun penjajahan model zaman batu yaitu pendudukan militer asing di suatu negeri ternyata masih ada semisal Palestina, “Iraq dan Afghanistan. Padahal ketiga negeri tersebut kurang menggiurkan dibanding Asia Tenggara.
Perlu diketahui bahwa penjajahan mencakup 3 hal, dan penjajah berusaha memenuhi keinginannya minimal 1 hal. Adapun 3 hal tersebut adalah :
1. Ekploitasi dibidang ekonomi, inilah motif paling dasar penjajahan. Penjajah berusaha meraih negeri yang sekaya mungkin sumber alamnya untuk mengeruknya dengan memberi pribumi sesedikit mungkin.
2. Dominasi dibidang politik, kekuasaan politik sedapat mungkin dipegang oleh penjajah. Suatu negeri diatur menurut kepentingannya dan pribumi menjadi golongan yang diperintah.
3. Penetrasi dibidang nilai/norma, penjajah sedapat mungkin memasukkan nilai/norma yang mereka anut ke dalam tata hidup pribumi. Nilai/norma tersebut dapat berupa agama atau budaya supaya terdapat kesamaan antara penjajah dengan yang dijajah. Hal tersebut membuat penjajah makin mudah mengatur tanah/warga jajahannya.
Dalam konteks Indonesia pasca Perang Dunia-2 dan perang kemerdekaan/Revolusi 1945 (1945-50), sejumlah kekuatan asing berangsur-angsur kembali menanamkan pengaruh. Hal tersebut begitu tertolong karena ada saja sejumlah anak bangsa yang bersedia menjadi antek, umumnya mereka sudah bermental korup. Demi memperkaya diri, mereka tidak segan-segan menjadi alat fihak asing menggadaikan bangsa dan negaranya dengan sejumlah imbalan. Buat para antek, mereka cenderung tidak peduli apakah sumber daya alamnya dikuasai (dan tentu dikuras) fihak asing. Yang penting dapat bagian.
Yang memprihatinkan, para antek tersebar di segala level – bahkan ada yang menjadi elit di pemerintahan. Jabatan yang mereka sandang serta gaji dari uang rakyat melalui pajak, yang mestinya digunakan untuk mengabdi “habis-habisan” untuk rakyat ternyata diselewengkan untuk tujuan yang berlawanan dengan itu. Melalui mereka, entah sudah berapa banyak sumber daya alam negeri ini yang sudah dikuasai/dikeruk fihak asing. Entah sudah berapa % saham aset nasional yang sudah bukan milik bangsa ini lagi. Indonesia mengalami model penjajahan yang jauh-jauh hari sudah diperingatkan oleh Bung Karno dengan istilah “nekolim” (neo imperialisme/kolonialisme). Tidak perlu ada pendudukan militer asing di Indonesia, negeri ini telah “menyediakan” sejumlah anak bangsa yang menjadi antek yang siap melaksanakan agenda asing.
Selain eksploitasi dibidang ekonomi (yang samar-samar juga disebabkan oleh dominasi dibidang politik yaitu para antek yang menjadi elit), Indonesia juga tanpa terasa juga disusupi oleh berbagai nilai/norma asing : dari yang paling liberal (liberalisme) hingga yang paling radikal/fundamental (radikalisme/fundamentalisme). Setiap kepentingan asing ada anteknya. Negeri ini menjadi lahan pertarungan sengit sejumlah kekuatan asing tanpa kita sadari. Kita jalani hidup sehari-hari semisal pergi ke sekolah, ke kantor, ke pasar atau ke tempat wisata seakan-akan tidak terjadi hal-hal yang krusial di negeri ini.
Pertanyaan yang mungkin muncul, siapakah fihak asing yang turut “bermain” di negeri ini? Siapa yang bertekad meraih minimal sepotong atau secuil pengaruh di negeri ini? Penulis menilai banyak, mungkin sulit dihitung atau dideteksi. Karena itu penulis coba batasi menyebut “para pemain” pada 4 fihak saja, dengan pertimbangan mereka relatif besar berpengaruh di negeri ini.
1. Barat, sudah penulis sebut mereka yang pertama mengenalkan penjajahan pada abad-16. Dimulai sejak penaklukan Kesultanan Malaka oleh Portugis, bangsa Potugis adalah bangsa Barat pertama hadir bukan hanya sebagai pedagang, pelaut atau perantau namun juga sebagai penjajah. Kehadiran Portugis kemudian diikuti bangsa-bangsa Barat lain dengan tujuan serupa semisal Spanyol, Inggris, Belanda dan Perancis. Kehadiran mereka mengundang perlawanan dari pribumi dan juga bangsa-bangsa Asia lainnya. Bangsa-bangsa Asia kelak terpancing untuk berbuat serupa. Perang Dunia-2 yang berakibat harus melepas wilayah jajahan termasuk Indonesia tidak membuat mereka “kapok” untuk hadir kembali (tetap sebagai penjajah) dalam bentuk lain yang sesamar mungkin. Di atas telah disebut peran para antek yang membuat mereka masih punya pengaruh di Indonesia, antara lain faham liberalisme dengan berbagai dalil (atau dalih?) hak azazi manusia dan demokrasi.
2. Jepang, bangsa Asia yang mungkin pertama paling sukses merebut pengaruh dengan cara gerakan militer. Jepang merasa sesak menyaksikan sekitar 80% planit ini dikuasai Barat dengan berbagai istilah : koloni, protektorat atau mandat. Muncul ide bahwa “Asia untuk orang Asia” – yang dapat (dan memang) diartikan bahwa penjajahan di Asia hanya boleh dilakukan oleh orang Asia, dan bangsa Asia yang paling canggih adalah Jepang. Pada awal Perang Pasifik (1941-5) banyak wilayah jajahan Barat di Asia-Pasifik sempat direbut oleh pasukan Jepang. Setelah melalui perang yang dahsyat kekuatan Barat – dengan istilah “Sekutu” – dapat memaksa Jepang menyerah, namun warisan pendudukan Jepang yaitu semangat anti imperialisme Barat memaksa mereka melepas wilayah jajahannya. Dan Jepang sendiri sanggup bangkit dari puing-puing Perang Dunia-2 dan menjadi raksasa ekonomi selama beberapa dekade. Larangan mengembangkan kekuatan militer oleh Sekutu mengalihkan seluruh energi bangsa untuk menjadi kekuatan ekonomi – yang sempat mengalahkan para pemenang perang dunia. Produk-produk Jepang membanjiri seantero dunia. Dan mimpi lamanya yaitu “Kawasan Sekemakmuran Asia Timur Raya” yang gagal dicapai dengan penaklukan militer agaknya tercapai melalui ekonomi. Indonesia kembali menjadi wilayah penyedia bahan baku sekaligus pasar bagi produk Jepang. Kesepakatan kedua negera yang tertuang dalam “IJEPA” (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement) 2007 dinilai sejumlah anak bangsa adalah “penjajahan Jepang jilid-2”, antara lain karena dalam kesepakatan tersebut Indonesia menjamin ketersediaan pasokan energi Jepang dengan LNG. Yang berarti dapat mengancam ketahanan atau kedaulatan energi dalam negeri. Selain itu sejumlah warisan buruk penjajahan Jepang saat Perang Dunia-2 dinilai sejumlah anak bangsa belum tuntas. Perjanjian pampasan perang yang mengawali hubungan diplomatik Indonesia-Jepang pada 1958 hanya mencakup kerusakan materi dan belum mencakup penderitaan lahir batin rakyat Indonesia.
3. Cina, setelah susah payah bangkit dari Perang Dunia-2 dan revolusi yang berbentuk perang saudara yang lama dan kejam, akhirnya terhitung menjadi kekuatan raksasa. Kebangkitan ekonominya berdampak pada kebangkitan militernya. Selain terlibat sengketa dengan Taiwan (Republik Cina) – yang dinilai sebagai provinsi pemberontak, juga terlibat sengketa dengan Jepang, Brunei, Vietnam, Filipina dan Malaysia terkait dengan klaim batas wilayah. Kesepakatan dalam bidang ekonomi yang berwujud perdagangan bebas dengan perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara – lazim disebut “ASEAN” – dengan nama “ACFTA” (Asean-China Free Trade Agreement), ternyata berdampak besar bagi Indonesia. Banjir barang produk Cina bagai tsunami membuat para produsen negeri ini meratap dan tiarap, produk dalam negeri ternyata kalah bersaing dengan produk Cina. Hal tersebut berdampak pada kebangkrutan dan pemutusan hubungan kerja. Cina seakan siap menjadi kompetitor Jepang dalam hal ini. Dengan kata lain, Cina mendapat peluang berpengaruh di negeri ini dibidang ekonomi. “Ekspor” faham komunis dan manuver militer agaknya (masih) “jauh panggang dari api”. Indonesia tidak berbatasan langsung dengan Cina dan faham komunis masih dinyatakan terlarang di Indonesia.
4. Arab, agaknya ini kurang diperhatikan padahal usaha meraih pengaruh di negeri ini untuk atau dengan cara bertarung dengan fihak asing lain relatif sudah lama. Sejauh yang penulis tahu, pada akhir abad-18 atau awal abad-19 masuk faham pemurnian agama Islam yang disebut dengan “Muwwahid” namun kelak lebih dikenal dengan “Wahhabi”, nama yang dikaitkan dengan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Di Sumatera – tepatnya Minangkabau – sempat muncul revolusi yang awalnya melawan para tokoh adat lokal kemudian melawan penjajah, yang disebut dengan “Perang Paderi”(1821-37). Walau gerakan Paderi dapat ditumpas namun fahamnya tetap hidup hingga kini.
Ada lagi masalah, sebagai akibat cara-cara indoktrinasi ala Orde Baru melestarikan nilai-nilai kebangsaan atau menjadi penafsir tunggal terhadap Pancasila, rakyat trauma dengan segala simbol atau identitas bangsa semisal Pancasila, lagu “Indonesia Raya” – atau pelajaran sejarah bangsa yang disesuaikan dengan penguasa dengan maksud melegitimasi kekuasaan. Pemerintahlah yang menetapkan “siapa yang pahlawan” dan “siapa yang pengkhianat atau musuh bangsa/negara” dalam pelajaran sejarah.Akibatnya ketika rezim Orde Baru tumbang, pelajaran “Pendidikan Moral Pancasila” dan “Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa” dihapus dan dimasukkan ke dalam “Pendidikan Kewarganegaraan”. Inilah yang kelak dinilai sejumlah kalangan menjadi penyebab lunturnya nilai-nilai kebangsaan. Korupsi, kolusi, nepotisme, radikalisme, ekstrimisme, terorisme dianggap sebagai akibat dari lunturnya rasa identitas bangsa.
1. Bangsa ini perlu memperkuat rasa identitasnya sebagai bangsa dengan cara menyajikan kembali pelajaran sejarah dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Dengan demikian bangsa ini tahu asal muasal atau proses terbentuknya bangsa dan negara ini. Metoda hafalan (nama orang, nama tempat, nama peristiwa dan tanggal peristiwa) harus diganti dengan metoda renungan atau analisa peristiwa yang dapat ditemukan relevansinya dengan zaman kini. Jadi, terasa ada kesinambungan antara masa lalu dengan masa kini.
2. Jika pelajaran Pancasila harus disajikan kembali, metodanya juga diubah. Jangan pakai metoda hafalan atau indoktrinasi, tapi pakai juga renungan atau analisa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
3. Segala dinamika yang terjadi pada masyarakat segera disimak dan dicari solusinya, jangan terkesan ada pembiaran oleh pemerintah atau menjadi komoditas politik. Hal tersebut perlu untuk memperkecil peluang fihak asing masuk dan bermain di negeri ini sesuai dengan agenda mereka.
4. Kurangi ketergantungan dengan fihak asing, Indonesia memiliki banyak hal yang tak dimiliki sejumlah fihak luar : alam kaya, wilayah luas dan letak strategis sungguh dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat jika dikelola dengan tepat. Kriterianya adalah selalu mengutamakan kepentingan nasional, mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
5. Bangsa ini perlu suatu standar penyaring yang dapat mencegah faham-faham yang merugikan kepentingan nasional masuk ke negeri ini. Dengan demikian segala faham luar dapat memperkaya dan bukan memperdaya bangsa, atau keragaman di dalam adalah kekayaan dan bukan kerawanan bangsa.
Usulan yang disajikan penulis masih dapat dibahas dan bukan satu-satunya kebenaran mutlak, artinya masih terbuka untuk penyempurnaan.
Baca selengkapnya



1 komentar:

nyash mengatakan...

informasinya sangat menambah wawasan sekali

finmas

Posting Komentar